Posts from the ‘Parasit’ Category

Desinfektan: Glutaraldehyde

Definisi

Glutaraldehyde merupakan desinfektan golongan aldehyde, termasuk desinfektan yang kuat, spektrum aplikasi luas, dapat membunuh mikroorganisme dan virus. Bekerja dengan cara denaturasi protein dan umum digunakan dalam campuran air konsentrasi 0,5% – 5%. Keunggulan golongan aldehyde adalah sifatnya yang stabil, persisten, efek samping minimal, dapat dibiodegradasi dan tidak menyebabkan kerusakan pada material peralatan. Larutan glutaraldehyde 2% efektif terhadap bakteri vegetative seperti Mycobacterium tuberculosis, fungi dan virus akan mati dalam waktu 10 – 20 menit (Rusmah, 1993; Sukhija et al., 2010).

Mekanisme Kerja

Mikroorganisme Target Mekanisme Aksi Glutaraldehyde
Spora bakteri Konsentrasi rendah: Menghambat perkecambahan spora

Konsentrasi tinggi: Berinteraksi kuat dengan lapisan luar sel.

Mycobacteria Aksi belum diketahui secara pasti, namun kemungkinan melibatkan interaksi dengan dinding sel mycobacteria.
Bakteri lain yang tidak berspora Membentuk ikatan yang kuat dengan lapisan  pada bakteri gram positif dan gram negatif, hubungan silang asam amino pada protein, menghambat proses transport ke dalam sel
Fungi Berinteraksi dengan dinding sel fungi
Virus Mekanisme aksi melalui interaksinya dengan DNA-protein secara silang dan pergantian capsid.
Protozoa Mekanisme aksi belum diketahui.

 

Dosis

Larutan glutaraldehyde 2% direkomendasikan untuk sterilisasi peralatan bedah, daerah operasi, perawatan endodontik intrakanal dan sterilisasi bahan cetak alginat pada bidang kedokteran gigi. Studi menunjukkan bahwa glutaraldehyde adalah fiksatif yang efektif dengan efek samping minimal, penetrasi terbatas dan kerja cepat. Studi pulpotomi menggunakan glutaraldehid sebagai agen fiksatif menghasilkan tingkat keberhasilan yang tinggi (Rusmah, 1993).

Produk

  • Agrigerm (sedian cair, setiap liter mengandung glutaraldehida 40 g, glikosal 32 g, formaldehyde 31,5 g, oimetil didesil ammonium klorida 100 g. produksi lab.ceetal-perancis.
  • Aldekol des 02 (sedian cair, mengandung isopropanole, formaldehyde, glutaraldehide, dan benzalkonium chloride. Produksi ewabo chemikalien GmbH, jerman/satwa jawa jaya.
  • Alcide (sedian cair, mengandung glutaraldehide, coco benzyl dimethylammonium chloride . digunakan untuk desinfeksi. Produksi surya hidup satwa.
  • Biodan (sedian cair, komposisinya glutaraldehyde 15%, cocobenzil dimethyl ammonium kloride 10 % sebagai desinfektan. Produksi vaksindo satea nusantara.
  • Formades (sedian cair, setiap liter mengandung formalin 240 g, glutaraldehide 40 g, benzalkoinun klorida 30 g. penggunaan desinfektan, produksi medion.
  • Omnicide (sedian cair, mengandung glutaraldehide, dimetil cocobenzil ammonium chloride. Desinfeksi, produksi Coventry chemical limited inggris/pimaimas citra.
  • Sanitas-151 (sedian cair, komposisi glutaraldehide 15 % benzalkonium chloride 10 %. Sebagai antiseptic dan desinfektan. Produksi mitravet.

Penulis: Munajat Putri

Tempat Kongkow Parasit pada Ikan

Ada tiga kemungkinan penyebab kematian populasi ikan di kolam atau di perairan lain, yaitu stress linkungan atau keracunan, infeksi mikroba dan infeksi metazoan. Kesehatan ikan dalam akuakultur adalah hal yang paling penting. Dan tentunya kesehatan ikan dipengaruhi oleh faktor lingkungan, nutrisi dan patogen. Penyakit diartikan sebagai suatu keadaan fisik, morfologi dan atau fungsi yang mengalami perubahan dari kondisi normal  Secara umum penyakit dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu penyakit infeksi dan non infeksi. Penyakit infeksi disebabkan oleh organisme hidup seperti parasit, jamur, bakteri, dan virus dan penyakit non infeksi disebabkan oleh faktor non hidup seperti pakan, lingkungan, keturunan dan penanganan.
Parasit dapat diartikan sebagai organisme yang hidup pada organisme lain yang mengambil makanan dari tubuh organisme tersebut, sehingga organisme yang tempatnya makan (inang) akan mengalami kerugian. Dialam parasit mempunyai peranan penting dalam dalam suatu ekosistem. Sedangkan dalam budidaya kehadiran parasit sangat dihindari. Parasit ikan ada pada lingkungan perairan yang ada ikannya, tetapi belum tentu menyebabkan ikan menderita sakit.
Berikut ini adalah bagian tubuh ikan yang dapat dihinggapi parasit.
  1. Telur
  • Fungi: Saprolegnia dan keluarga.
  • Protozoan: Carchesium (Walleye dan Trout), Epistylis (Catfish), Pleistophora variae (Golden Shiner), sulci (Polyodon spathula ), dan Thelohania baueri (Pungitius pungitius),
  1. Kumis
  • Protozoa: Henneguya (Ictalurus nebulosus), Ichthyophthirius (terkadang).
  • Trematoda: Gyrodactylus
  1. Kulit dan Sirip
  • Fungi: Saprolegnia dan keluarga, Exophiala pisciphila
  • Protozoa: Ambiphrya, Amphileptus, Bodomonas, Chilodonella, Colponema, Cyclochaeta, Epistylis, Ichthyoboda, Ichthyophthirius, Oodinium, Trichodina, Trichophrya, Microsporidea, Myxosporidea, Myxobolus squamalis
  • Monogenea: Gyrodactylus,
  • Trematoda: Neascus (black spot)
  • Crustacea: Argulus, Lernaea, Ergasilus, Salmincola.
  1. Lubang Hidung
  • Protozoa: Apiosoma , Amphileptus, Chilodenella, Myxobolus, Tetrahymena, Trichodina, Trichodinella.
  • Monogenea: Aplodiscus nasalis (Hypentellium etowanum), Cleidodiscus monticelli, Pellucidhaptor catostomi, P. nasalis, P.
  • Nematoda: Philometra (bluegills danlargemouth black bass)
  • Copepoda: Ergasilus megaceros (fallfish dan catfish), Ergasilus rhinos (centrarchids), Gamidactylus, Gaminispatulus, Gaminispinus, Lernaea, Paragasilus,
  1. Insang
  • Fungi: Dermocystidium
  • Protozoa: Ambiphrya, Amphileptus, Bodomonas, Chilodonella, Cryptobia, Dermocystidium, Epistylis, Ichthyoboda (Costia), Ichthyophthirius, Microspora, Myxosporea, Piscinoodinium, Trichodina, Trichophrya
  • Monogenea: Gyrodactylus, Dactylogyrus, Cleidodiscus, dan masih banyak spesies lain
  • Trematoda: Sanguinicola
  • Copepoda: Achtheres, Argulus, Lernaea, Ergasilus, Salmincola, Lepeophtheirus
  1. Mulut
  • Protozoa: Apiosoma, Myxosporea
  • Trematoda: Leuceruthrus
  • Nematoda: Philometra nodulosa (pada ikan Suckers dan Buffalo Fishes)
  • Copepoda: Lernaea cyprinacea, Salmincola (S. lotae pada ikan Burbot)
  1. Darah
  • Protozoa: Trypanosoma (Cryptobia), Trypanoplasma, Babesiosoma, Dactylosoma, Haemogregaerina dalam sel darah merah, Kudoa, Sphaerospora
  • Trematoda: Sanguinicola pada pembuluh darah, termasuk pembuluh darah pada insang
  • Nematoda: Philometra sanguinea in pada pembuluh darah sirip ekor ikan mas, P. obturans pada pembuluh darah insang ikan Pike
  1. Kerongkongan
  • Trematoda: Azygia, Cotylaspis, Derogenes, Halipegus, Proterometra
  1. Perut
  • Protozoa: Schizamoeba
  • Monogenea: Enterogyrus , Enterogyrus sp.
  • Trematoda: Allocreadium, Aponeurus, Azygia, Caecincola, Centrovarium, Derogenes, Genolinea, Hemiurus, Leuceruthrus
  • Nematoda: Haplonema
  1. Usus
  • Protozoa: Hexamita, Schizamoeba, Eimeria.
  • Trematoda: Allocreadium, Crepidostomum, Lissorchis,
  • Cestoda: Proteocephalus, Bothriocephalus, Eubothrium.
  • Nematoda: Contracaecum, Camallanus,
  • Acanthocephala: Neoechinorhynchus, Echinorhynchus,
  1. Gelembung Renang
  • Trematoda: Acetodextra
  • Nematoda: Cystidicola , Huffmanella huffmanella
  1. Selaput rongga perut, Hati, Limpa
  • Fungi: Ochroconis humicola,; O. tshawytscha, Phoma herbarum.
  • Protozoa: Myxosporea, Microsporea, Goussia
  • Trematoda: Ornithodiplostomum, Posthodiplostomum, Paurorhynchus, Acetodextra (pada ikan Lele)
  • Cestoda: Diphyllobothrium, Haplobothrium, Ligula, Proteocephalus, Schistocephalus, Triaenophorus.
  • Acanthocephala: Echinorhynchus salmonis, Leptorhynchoides thecatus, Pomphorhynchus bulbocolli
  • Nematoda: Philonema,
  • Copepoda: Lernaea.
  1. Kantung Empedu
  • Protozoa: Myxosporea, Hexamita.
  • Trematoda: Crepidostomum cooperi, C. farionis, Derogenes , Plagioporus sinitsini, Prosthenhystera sp., Pseudochaetosoma.
  • Cestoda: Eubothrium salvelini, Dilepidae (Pleurocercoids)
  • Nematoda: Rhabdochona , Capillaria catostomi
  1. Saluran Empedu
  • Trematoda: Phyllodistomum
  1. Ginjal
  • Fungi: Ichthyophonus hoferi, Ochroconis
  • Protozoa: Myxosporea
  • Trematoda: Nanophyetus salmincola, Posthodiplostomum minimum centrarchi, Phyllodistomum pada saluran kencing dan ginjal.
  1. Kandung Kemih
  • Protozoa: Myxosporea, Vauchomia (trichodinid) pada Esox
  • Monogenea: Acolpenteron.
  • Trematoda: Phyllodistomum.
  1. Indung Telur (Ovarium)
  • Protozoa: Henneguya oviperda pada ikan Esox lucius, Pleistophora ovariae pada ikan Golden Shiners, Thelohania baueri pada ikan Gasterosteus aculeatus,
  • Trematoda: Acetodextra ameiuri
  • Nematoda: Philonema pada ikan Salmon
  • Cestoda: Proteocephalus
  1. Testis (Kantung sperma)
  • Protozoa: Hexamita
  • Cestoda: Proteocephalus
  1. Mata
  • Protozoa: Henneguya episclera pada ikan Lepomis gibbosus, H. zikaweiensis pada ikan Carassius auratus, Myxobolus corneus pada korna ikan Lepomis macrochirus, M. hoffmani pada selaput mata ikan Pimephales promelas
  • Digenea: Diplostomum spathaceum pada lensa mata, Diplostomulum scheuringi di cairan pada mata.
  • Nematoda: Philometroides di rongga bola mata pada ikan southeastern centrarchids
  1. Tulang Rawan
  • Protozoa: Henneguya brachyura pada ikan Notropis , H. schizura pada ikan Esox lucius, Henneguya sp. pada ikan Pomoxis spp., M. cartilaginis pada ikan Centrarchids, Myxobolus cerebralis pada ikan salmonids, M. hoffmani pada ikan Pimephales promelas, M. scleropercae pada ikan Perch
  1. System Saraf
  • Fungi: Ichthyophonus hoferi pada otak
  • Protozoa: Mesencephalicus pada otak ikan Cyprinus carpio (Europe), Myxobolus cerebralis mengganggu CNS (Central Nervous System / System Saraf Pusat), M. hendricksoni pada otak ikan Pimephales promelas, M. arcticus, M. kisutchi, M. neurobius pada CNS ikan Salmonids
  • Trematoda: Diplostomulum, Euhaplorchis, Ornithodiplostomulum, Parastictodora, Psilostomum
  1. Jaringan Otot
  • Protozoa: Myxobolus insidiosus pada ikan Cutthroat Trout, Chinook dan Coho Salmon, Heterosporis pada ikan Yellow Perch, serta beberapa Myxosporea dan Microsporea
  • Trematoda: Clinostomum dan black spot (Neascus )
  • Cestoda: Larval Diphyllobothrium, Triaenophorus
  • Nematoda: larval Eustrongylides

 

Sumber: Parasites of North American freshwater fishes by Glenn L. Hoffman 1999

Pantogen

Patogen (Bahasa Yunani: “penyebab penderitaan”) adalah agen biologis yang menyebabkan penyakit pada inangnya.[1] Sebutan lain dari patogen adalah mikroorganisme parasit.[2] Umumnya istilah ini diberikan untuk agen yang mengacaukan fisiologi normal hewan atau tumbuhan multiselular. Namun, patogen dapat pula menginfeksi organisme uniselular dari semua kerajaan biologi.[1]
disease_venns
Umumnya, hanya organisme yang sangat patogen yang dapat menyebabkan penyakit, sementara sisanya jarang menimbulkan penyakit. Patogen oportunis adalah patogen yang jarang menyebabkan penyakit pada orang-orang yang memiliki imunokompetensi (immunocompetent) namun dapat menyebabkan penyakit/infeksi yang serius pada orang yang tidak memiliki imunokompetensi (immunocompromised).[1] Patogen oportunis ini umumnya adalah anggota dari flora normal pada tubuh.[1] Istilah oportunis sendiri merujuk kepada kemampuan dari suatu organisme untuk mengambil kesempatan yang diberikan oleh penurunan sistem pertahanan inang untuk menimbulkan penyakit.[1]

Pada umumnya semua patogen pernah berada di luar sel tubuh dengan rentang waktu tertentu (ekstraselular) saat mereka terpapar oleh mekanisme antibodi, namun saat patogen memasuki fase intraselular yang tidak terjangkau oleh antibodi, sel T akan memainkan perannya.[3]

Sel T adalah sel di dalam salah satu grup sel darah putih yang diketahui sebagai limfosit dan memainkan peran utama pada kekebalan selular. Sel T mampu membedakan jenis patogen dengan kemampuan berevolusi sepanjang waktu demi peningkatan kekebalan setiap kali tubuh terpapar patogen. Hal ini dimungkinkan karena sejumlah sel T teraktivasi menjadi sel T memori dengan kemampuan untuk berkembangbiak dengan cepat untuk melawan infeksi yang mungkin terulang kembali. Kemampuan sel T untuk mengingat infeksi tertentu dan sistematika perlawanannya, dieksploitasi sepanjang proses vaksinasi, yang dipelajari pada sistem kekebalan tiruan.

Virulensi

Virulensi adalah derajat tingkat patogenitas yang diukur oleh banyaknya organisme yang diperlukan untuk menimbulkan penyakit pada jangka waktu tertentu.[4][2] Virulensi berkaitan erat dengan infeksi dan penyakit: infeksi merujuk pada suatu situasi di mana suatu mikroorganisme telah menetap dan tumbuh pada suatu inang, dalam hal ini mikrorganisme tersebut dapat melukai atau tidak melukai inangnya; sementara penyakit adalah kerusakan atau cedera pada inang yang mengganggu fungsi tubuh inang. [2] Sebagai contoh, dosis letal 50%/ 50%lethal dose (LD50) adalah jumlah organisme yang diperlukan untuk membunuh setengah dari jumlah inang yang diserang.[4] Sementara dosis infeksius 50%/ 50%infectious dose (ID50) adalah jumlah organisme patogen yang dibutuhkan untuk menginfeksi 50% dari total inang yang diserang. ID50 dari tiap organisme berbeda-beda, sebagai contoh, Shigella memiliki ID50 kurang dari 100 organisme sementara Salmonella memiliki ID50 sekitar 100.000 organisme.[4] Dosis infeksius dari suatu organisme tergantung dari faktor virulensi mereka.[4]
Faktor Virulensi Bakteri

Transmisibilitas: Tahap pertama dari proses infeksi adalah masuknya mikroorganisme ke dalam inang melalui satu atau beberapa jalur: pernapasan, pencernaan (gastrointestinal), urogenitalia, atau kulit yang telah terluka. setelah masuk, patogen harus melalui brmacam-macam sistem pertahanan tubuh sebelum dapat hidup dan berkembangbiak di dalam inangnya.[4] Contoh sistem pertahanan inang meliputi kondisi asam pada perut dan saluran urogenitalia, fagositosis oleh sel darah putih, dan bermacam-macam enzim hidroitik dan proteolitik yang dapat ditemukan di kelenjar saliva, perut, dan usus halus.[4] Bakteri yang memiliki kapsul polisakarida di bagian luarnya seperti Streptococcus pneumoniae dan Neisseria meningitidis memiliki kesempatan lebih besar untuk bertahan hidup.[4]
Pelekatan: Beberapa bakteri seperti Escherichia coli menggunakan en:pili untuk melekat pada permukaan sel inang mereka.[4] Bakteri lain memilki molekul adhesi/pelekatan pada permukaan sel mereka atau dinding sel yang hidrofobik seingga mereka dapat menempel pada membran sel inang.[4] Pelekatan meningkatkan virulensi dengan cara mencegah bakteri terbawa oleh mukus atau organ karena aliran cairan seperti pada saluran urin dan pencernaan.[4]
Kemampuan invasif: bakteri invasif adalah bakteri yang dapat masuk ke dalam sel inang atau menembus permukaan kelenjar mukus sehingga menyebar dari titik awal infeksi.[4] Kemampuan invasif didukung oleh adanya enzim yang mendegradasi matriks ektraseluler seperti kolagenase.[4]
Toksin bakteri: Beberapa bakteri memproduksi toksin atau racun yang dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu: endotoksin dan eksotoksin.[4] Eksotoksin adalh protein yang disekresikan oleh bakteri gram positif dan gram negatif. Di sisi lain, endotoksin adalah lipopolisakarida yang tidak disekresikan melainkan terdapat pada dinding sel bakteri gram negatif.[4]

 

Rujukan:

1 ^ a b c d e Warren Levinson. 2008. Review of Medical Microbiology & Immunology, Tenth Edition. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc
2 ^ a b c d Madigan MT, Martinko JM, Brock TD. 2006. Brock Biology of Microorgnisms. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
3 ^ (Inggris)”Figure 10.4. Pathogens found in various compartments of the body”. Charles A. Janeway, et al. Diakses 2010-03-17.
4 ^ a b c d e f g h i j k l m n Harvey RA, Champe PC, Fisher BD, Strohl WA. 2007. Microbiology. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkin

Sumber: id.wikipedia.org

Diagnosa Infeksi Dactylogyrus sp.

Dactylogyrus sp

Dactylogyrus sp.

Dactylogyrus sp termasuk dalam filum: Vermes; Sub filum: Platyhelminthes; Kelas: Trematoda; Ordo: Monogenea; Famili: Gyrinidae; Genus: Dactylogyrus; Spesies: Dactylogyrus sp. (Handajani dan Samsundari, 2005).

Dactylogyrus merupakan cacing pipih (fluke) yang termasuk dalam parasit kelas trematoda monogenea. Cacing ini banyak menginfeksi ikan (Griffiths, 2008). Dactylogyrus memiliki alat penyerang yang disebut haptor atau ophishaptor. Sistem pencernaan sangat sederhana, mulut pada ujung anterior, dikelilingi oleh alat penghisap (Levine, 1994). Panjang parasit ini 0,2-0,5 mm dengan panjang maksimumnya 2.0 mm dan bagian posterior dilengkapi dengan 7 pasang kait tepi (marginal hooks) dan terdapat 1 pasang kait tengah (median hooks) pada ophishaptornya serta di bagian anterior terdapat 2-4 pigment spot atau mata  (Anonim, 2005).

Siklus hidup Dactylogyrus adalah secara langsung. Telur menetas kemudian menjadi larva bersilia yang disebut oncomiracidium, yang menyerang hospes atau hanya hidup bebas di air sebelum menempel pada hospes. Oncomiracidium menyerang hospes melalui organ posteriornya yang disebut opisthaptor (Anonim, 2000). Dactylogyrus sp. termasuk ovipar (Anonim, 2007). Telurnya sangat tahan terhadap senyawa kimia atau desinfektan sehingga untuk pemberantasan memerlukan tindakan yang bertahap dengan menggunakan lebih dari satu metode atau agensia pengendali parasit (Irianto, 2005).

Pada ikan air tawar, monogenea mampu membuat insang menjadi pucat dan swollen, membuat respirasi meningkat, dan ikan menjadi rendah toleran terhadap oksigen. Sebagian besar monogenea baik yang menyerang kulit maupun insang mampu membuat perubahan yang berarti pada tingkat kerusakan dan mortalitas. Infeksi sekunder dari bakteri dan jamur dapat terjadi pada jarinngan yang telah rusak oleh monogenea (Reed et al, 2005). Semua Dactylogyrus sp. akan merangsang sekresi mukus berlebihan, dapat menyebabkan tepi lamella insang tercabik atau luka. Pada infeksi berat akan mengganggu penyerapan oksigen sehingga ikan kekurangan oksigen dan operkula memerah (Irianto, 2005). Kulit juga pucat, bintik-bintik merah dibagian tubuh tertentu, produksi lendir tidak normal dan pada sebagian atau seluruh tubuh berwarna lebih gelap, sisik dan kulit terkelupas. Organ target Dactylogyrus adalah lamela primer (Kordi, 2004).

Dactylogyrus in fish

Parasit ini akan terlihat bila filamen insang dipisahkan dari arkus insang dan ditaruh pada kaca obyek yang ditutupi kaca penutup lalu diperiksa, karakteristik identifikasi berdasarkan kait dan matanya (Anonim, 2004).

Penulis: drh

Trik Mas Kesit untuk Kesehatkan Si Kumis

image

Pembudidaya harus memperhatikan kesehatan lele dan lingkungan budidaya.

Hujan turun yang tidak menentu bisa mengganggu proses budidaya ikan berkumis ini hingga menimbulkan kematian. Curah hujan tinggi seharian penuh dan tanpa perlindungan tambahan menyebabkan lele siap panen berukuran 5 ekor/kg milik salah seorang pembudidaya lele sistem bioflok di Sukabumi, Jawa Barat, mengalami kematian massal. Akibatnya, pembudidaya rugi dan kehilangan sebanyak 180 kg lele siap panen. Lantas, bagaimana mencegahnya?

Waspada Hujan

Menurut Kesit Tisna Wibawa, perekayasa di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi, Jawa Barat, hujan yang datang terus menerus bisa menyebabkan rendahnya kualitas lingkungan budidaya secara mendadak. Yaitu: perubahan derajat keasaman (pH), fluktuasi suhu, kematian plankton dan bakteri bermanfaat, dominasi amonium, hingga penumpukan logam berat yang terbawa air hujan.

Perubahan lingkungan budidaya yang mendadak membuat lele kaget dan menjadi stres. “Awalnya pasti stres, nggak mau makan, terus imun tubuh menurun karena tidak ada nutrisi yang mendukung dia, hasilnya rentan penyakit. Penyakit akan gampang menyerang ditambah dengan kondisi lingkungan yang tidak mendukung,” ulas Kesit terperinci. Apalagi pada budidaya lele sistem probiotik dan bioflok yang mengandalkan padat tebar tinggi, kualitas air kolam budidaya memerlukan perhatian intensif. Salah kelola, kerugianlah yang didapat.

Secara fisik, lele stres terlihat pucat dengan produksi lendir meningkat sehingga lapisan lendirnya menipis dan aktif melompat-lompat di di pinggiran kolam. Kesit menjabarkan, “Kalau lendirinya tipis, akan mudah ditempeli jamur. Apalagi dia bergesekan sama temennya, akhirnya ada yang luka. Di situ mulai diserang.” Kolam yang awalnya hijau atau cokelat juga akan berubah menjadi bening karena kematian plankton dan bakteri. Lele juga bisa keracunan amonium yang mendorong kematian massal secara mendadak. Jika kondisi ini dibiarkan, dalam hitungan jam hingga dua hari, lele yang dibudidaya mulai menggantung di permukaan air, respon makan hilang, kemudian mati massal.

Imunostimulan

Menurut Kesit, saat cuaca tidak menentu antara panas dan hujan, kunci utama keberhasilan budidaya adalah kesehatan ikan. Caranya dengan meningkatkan daya tahan tubuh pemilik nama ilmiah Clarias battracus itu dengan memberikan imunostimulan dan vitamin. “Itu harus selalu tersedia. Karena kalau sudah lingkungan yang penyebabnya, tidak ada cara lagi kecuali kita harus membikin daya tahan tubuh lele benar-benar kuat,” papar penemu kolam sistem paket padat tebar tinggi (budidaya lele sistem probiotik) ini.

Kesit menerangkan, saat musim penghujan dengan intensitas tinggi nafsu makan lele akan berkurang sehingga mudah terserang penyakit. Imunostimulan meningkatkan daya tahan lele dengan cara mendorong nafsu makan seperti pada cuaca normal. Ia menyarankan penggunaan imunostimulan herbal yang mengandung ekstrak bawang putih, kencur, rumput teki, dan bakteri Bacillus karena efeknya lebih terlihat. Imunostimulan ini diberikan cukup satu hari sekali jika hujan berlangsung terus menerus. Bilaintensitas hujan mulai menurun, imunostimulan cukup diimbuhkan 2 – 7 hari sekali.

Imunostimulan

Imunostimulan

Sementara, pemberian vitamin C akan memberikan efek hangat dalam tubuh ikan sehingga nyaman untuk makan. Vitamin rutin disajikan sekali setiap hari sesuai dosis yang tertera pada label kemasan. Kesit memberikan dua jenis pakan, yaitu pakan apung dan pakan tenggelam. Pakan apung diberikan berdasarkan adlibitum (sekenyangnya),sedangkan pakan tenggelam sebanyak 3% – 5% bobot tubuh. “Karena kalau pakan apung dia kenyang atau tidak ‘kan kelihatan dari respon makan dan kecepatan makannya,” ulas dia.

Lingkungan Budidaya

Untuk menjaga lingkungan budidaya, sambung Kesit, perlu perlakuan khusus seperti penambahan kapur dolomit atau kapur tohor sebanyak 15 – 25 gr/msore hari. “Tergantung ukuran ikan. Kalau masih ukuran 3 – 7 cm, kasih 15 gr/m3,” sarannya. Penambahan kapur bertujuan menstabilkan pH agar perairan tidak masam dan perubahan suhu tidak terlalu rendah. Suhu air pada cuaca normal berkisar 26° – 29°C. Namun, saat musim penghujan suhu bisa turun hingga 24°C. Yang harus dihindarkan pembudidaya, imbuhnya, suhu meluncur tajam dari 29°C langsung ke 24°C.

Selanjutnya, tambahkan mineral air berupa garam dengan dosis sebanyak dolomit selepas hujan turun. Probiotik pun wajib diberikan. Probiotik bermanfaat menguraikan sisa-sisa makanan yang terbuang dan menjaga kestabilan komposisi bakteri dalam air. Kesit mengingatkan,  setidaknya probiotik harus mengandung dua jenis bakteri. Yakni, bakteri yang berfungsi untuk menguraikan nitrit seperti Bacillus atau Nitrobacter dan bakteri yang menguraikan amoniak, seperti Nitrosomonas.

Kolam yang berbau terjdi karena banyak sisa pakan dan menghasilkan amoniak. Ini memerlukan kerja bakteri Nitrosomonas untuk menguraikan amoniak agar tidak meracuni ikan. Amoniak diurai menjadi nitrit. Selanjutnya, nitrit dimanfaatkan Bacillus atau Nitrobacter menjadi nitrat yang dimanfaatkan sebagai unsur hara bagi fitoplankton. Kesit menilai, hal inilah yang kurang diperhatikan pembudidaya. Mereka memberikan probiotik tanpa melihat komposisi bakteri yang terkandung di dalamnya sehingga probiotik tidak bisa bekerja secara efektif. “Makanya banyak kejadian kolam bau walaupun dikasih probiotik yang harganya mahal, itu karena fungsinya tidak sesuai,”cetusnya.

Kandungan amoniak tinggi akan sangat bahaya kala hujanturun. Polutan kondisi air yang menurun karena amoniak tinggi masih dibebani tambahan polutan logam berat atau asam yang terbawa air hujan. Lele pun semakin stres.

Windi Listianingsih
Sumber: http://www.agrina-online.com

Tulisan terkait:

Rumput Teki

Alicin Bawang Putih