Do not use antibiotica

Hindari Antibiotik

Resistensi sel bakteri adalah suatu sifat tidak terganggunya kehidupan sel mikroorganisme oleh antimikroba (GANISWARA et al., 1995).

Sifat ini merupakan suatu mekanisme alamiah bakteri untuk bertahan hidup. Resistensi antibiotika terhadap bakteri dapat terjadi dengan berbagai alasan seperti overcrowding yang memudahkan terjadinya transfer bakteri antar personal, tingginya travelling dan perdagangan yang dapat menyebarkan strains resisten secara global, penggunaan antibiotika yang berlebihan pada manusia dan hewan (SPACH dan BLACK,1998; LEWIS, 1995).

Tipe resistensi bakteri terhadap antibiotika dapat bersifat non genetik yaitu bakteri dapat mengalami resistensi intrinsik spesifik terhadap antibiotika, atau resistensi dapat terjadi genetik melalui mutasi atau transfer gen antara bakteri (HAWKEY, 1998).

Mekanisme terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotika dapat terjadi dengan
berbagai cara, yaitu:

Alteration target (gangguan pada target)
Target utama diganggu sehingga antibiotika tidak mempunyai efek yang lama, sebagai contoh penambahan kelompok methyl ke 23S ribosom dari RNA dapat mencegah erythromycin untuk mengikat 23S rRNA sehingga sel menjadi resisten.

Replacement target (target diganti)
Target yang sensitif masih di dalam sel tetapi adanya komponen yang dibuat dapat membentuk peranan yang sama untuk menjadi resisten terhadap antibiotika, sebagai contoh sulfonamid yang resisten dapat disebabkan oleh enzim resisten baru yang dibuat dari gen yang dibawa oleh plasmid.

Perubahan transportasi sel
Sel bakteri mungkin mengalami perubahan sehingga antibiotika tidak dapat masuk ke dalam sel secara baik. Pada beberapa kasus antibiotika mungkin mengalami expelled secara aktif. Tetracyclin adalah contoh antibiotika yang secara aktif mengalami expelled oleh protein tetracyclin yang resisten. Gen protein reissten dibawa oleh kebanyakan plasmid.

Inaktivasi antibiotika
Sel bakteri menurunkan gen yang membuat enzym menghancurkan antibiotika. Sebagai contoh, beta lactamase dapat menghancurkan penicillin dan cephalosporin. Beberapa antibiotika seperti chloramphenicol dan aminoglycosida dapat diinaktivasi dengan penambahan kelompok phosphat atau kelompok acetyl.

PENANGGULANGAN RESISTENSI FOODBORNE BAKTERI
Resistensi antibiotika mengakibatkan tingginya mortalitas dan morbiditas karena kegagalan pengobatan dan tingginya biaya kesehatan. Oleh karena itu identifikasi sumber terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotika dapat mengurangi berkembangnya penyebaran resistensi dan multiresistensi bakteri.

Di UK pemakaian antibiotika sebagai pemacu pertumbuhan dibatasi dengan alasan tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap peningkatan produksi peternakan dan telah direkomendasikan penggunaan penicillins, tetracyclines, tylosin, dan sulfonamides sebagai growth promoters dihentikan.

Untuk mengurangi resiko terjadinya resistensi antibiotika terhadap foodborne bakteri di Uni Eropa telah mengimplementasikan legislasi Directive 70/524 tentang penggunaan antibiotika sebagai feed additive dengan dosis maksimum dan minimum, periode withdrawal sampai penyembelihan. Pemakaian feed additive harus mengikuti beberapa aturan yaitu harus mempunyai efek pada produksi ternak, tidak membahayakan kesehatan manusia dan hewan, level antibiotika dapat dikontrol, level antibiotika tidak boleh melebihi dosis untuk pengobatan dan pencegahan penyakit pada hewan dan tidak boleh untuk tujuan sebagai pengobatan pada hewan.

Untuk mengurangi tingkat kejadian resistensi antibiotika terhadap bakteri patogen perlu dilakukan:

1. Program surveilans nasional terhadap penggunaan antimikroba di luar pengobatan untuk manusia.
2. Program surveilans nasional terhadap resistensi antibiotika terhadap bakteri pada makanan dan hewan.
3. Strategi implementasi pencegahan transmisi resisten bakteria dari hewan ke manusia melalui rantai makanan.
4. Implementasi WHO Global Principles untuk Containment Antimicrobial Resistance pada hewan yang diperuntukan untk pangan mengikuti Guidelines OIE.
5. Implementasi strategi managemen yang spesifik untuk mencegah emergence dan dissemination resisten bakteri.
6. Implementasikan pendekatan risk assessment yang diperlukan untuk mendukung risk management.
7. Memperluas kapasitas negara khususnya di negara berkembang untuk melakukan surveillens terhadap penggunaan antimikroba dan tingkat resistensi,melakukan strategi implementasi risk assessment.
8. Melakukan risk management terhadap resistensi antimikroba pada area internasional.

KESIMPULAN
Pemakaian antibiotika pada hewan baik sebagai pencegahan dan pengobatan penyakit maupun sebagai pemacu pertumbuhan berkontribusi untuk terjadinya resistensi foodborne bakteria baik pada manusia maupun hewan.

Beberapa foodborne bakteri seperti Salmonella, Campylobacter, Enterococci, dan Escherichia coli yang resisten terhadap antibiotika telah terbukti dapat mentransfer faktor genetik ke manusia melalui rantai makanan atau secara kontak langsung.

Resistensi antibiotika terhadap bakteri patogen mengakibatkan terjadinya kegagalan pengobatan terhadap infeksi pada manusia dan meningkatkan biaya pengobatan.

Pengendalian terjadinya resistensi antibiotika terhadap bakteri patogen dapat dilakukan dengan melakukan program surveillens terhadap pemakaian antimikroba di peternakan dan surveilens terhadap tingkat terjadinya resistensi antibiotika.

Sumber: Susan Maphilindawati Noor dan Masniari Poeloengan (Balitvet Bogor), Materi pada Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan.