FB Upload -IMG00368-20130625-2109
Ikan Patin (Pangasionodon hypophthalamus) merupakan komoditas primadona pada sektor kegiatan perikanan budidaya, baik untuk pasar lokal maupun mancanegara. Hal tersebut terindikasi dari nilai permintaan yang kian meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan laporan pasar oleh Global Aquaculture Advocate (GAA) (2014), nilai impor daging ikan patin pada pasar Amerika pada tahun 2014 mencapai 42 juta ton (meningkat sebesar 46% dari tahun 2013). Bahkan nilai tersebut dipredikasi akan terus meningkat, seiring dengan peningkatan populasi masyarakat dan kesadaran terhadap pentingnya konsumsi ikan. Oleh karena itu segala hal terkait faktor input khususnya kualitas dan kuantitas benih perlu menjadi perhatian khusus untuk keberhasilan pada proses budidayanya.

Ketidakseragaman ukuran larva merupakan salah satu permasalahan utama pada kegiatan pembenihan ikan patin (Pangasionodon hypophthalamus). Kastemont et al. (2003) menyatakan, ketidakseragaman ukuran larva merupakan permasalahan umum pada kegiatan pembenihan ikan. Faktor penyebabnya antara lain adalah genetik dan lingkungan (biotik dan abiotik). Dampak dari kondisi tersebut, paling utama yaitu diskriminasi ukuran antara satu saudara dan dapat berujung pada kanibalisme dan persaingan pakan. Berdasarkan hasil studi Baras dan Almeida (2001) ketidakseragaman ukuran larva (pasca menetas) pada catfish (Clarias gariepinus) merupakan salah satu faktor utama penyebab tingginya kejadian kanibalisme. Oleh karena itu, upaya untuk menekan nilai ketidakseragaman tersebut perlu dilakukan khususnya dalam rangka meningkatkan produktivitas.
Beberapa upaya untuk menekan tingginya ketidakseragaman ukuran pada larva dapat dilakukan dengan beberapa cara, salah satunya yaitu dengan aplikasi probiotik. Berdasarkan hasil studi Lobo et al. (2013) aplikasi probiotik pada pemeliharaan larva Senegalese sole mampu menurunkan nilai ketidakseragaman ukuran pada populasi, sama halnya dengan hasil studi yang diperoleh Gisbert et al. (2013) pada juvenil ikan salmon (Onchorynchus mykiss). Keduanya berpendapat, salah satu kemungkinan minimnya nilai heterogenitas tersebut karena faktor efektivitas dan efisiensi penyerapan nutrisi pakan oleh ikan uji. Teori yang sama juga diungkapkan oleh Verschuere et al. (2000).

Terkait dengan metode aplikasi probiotik pada larva guna meningkatkan kinerja pertumbuhan dan menurunkan ketidakseragaman ukuran, Verschuere et al. (2000) berpendapat terdapat tiga metode aplikasi, diantaranya yaitu aplikasi langsung pada media pemeliharaan (kultur bersama), bioenkapsulasi pada pakan alami (rotifer, daphnia dan artemia) serta pencampuran langsung dalam pakan buatan. Aplikasi probiotik multispesies Bacillus sp. (Avella et al. 2010) telah dilakukan pada larva sea bream (Sparus auratus) menggunakan metode bioenkapsulasi pada pakan alami dan introduksi pada media pemeliharaan. Hasil yang diperoleh menunjukkan performa positif (peningkatan kinerja pertumbuhan) dari kedua metode tersebut terhadap ikan uji, jika dibandingkan dengan kontrol. Hasil yang sama, yaitu peningkatan kinerja pertumbuhan dan penurunan ketidakseragaman ukuran juga diperoleh Lobo et al (2013) pada larva Senegelase sole melalui metode bioenkapsulasi pada pakan alami (Artemia sp.). Hingga saat ini aplikasi probiotik Bacillus sp. pada larva ikan patin masih jarang dilakukan, khususnya terkait penerapan metode bioenkapsulasi dalam pakan alami ataupun introduksi pada media pemeliharaan guna meningkatkan kinerja pertumbuhan dan menurunkan ketidakseragaman ukuran.

Penulis: WAHYU DWI PUTRANTO