Hasad, bisa jadi adalah penyakit jiwa yang paling sering menjangkiti atau setidaknya pernah mendera kita tanpa disadari. Penyakit ini sesungguhnya adalah penyakit “tertua” yang menjadikan Nabi Adam harus keluar dari Jannah, karena hasadnya makhluk yang lebih dulu menghuni Jannah tidak tunduk perintah Yang Maha Pencipta. Penyakit ini kemudian banyak diwarisi manusia hingga sekarang.
Maha Suci Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah membagi-bagi karakter uniq para hamba-Nya sebagaimana Dia telah membagi-bagi rizki di antara mereka dengan takaran dan jumlah yang berbeda. Di antara manusia ada yang dianugerahi perangai yang baik, jiwa yang bersih dan cinta terhadap saudaranya apa yang ia cintai bagi dirinya berupa kebaikan. Ada pula jenis manusia yang jelek perangainya, kotor jiwanya serta tidak suka terhadap kebaikan yang diperoleh saudaranya.
Hasad adalah sikap benci dan tidak senang terhadap apa yang dilihatnya berupa baiknya keadaan orang yang tidak disukainya. (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyyah rahimahullahu, 10/111)
An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Hasad adalah menginginkan hilangnya nikmat dari yang memperolehnya, baik itu nikmat dalam agama ataupun dalam perkara dunia.” (Riyadhush Shalihin, Bab Tahrimil Hasad, no. 270)
Pada dasarnya, jiwa manusia memiliki tabiat menyukai kedudukan yang terpandang, dan tidak ingin ada yang menyaingi atau lebih tinggi darinya. Jika ada yang lebih tinggi darinya, ia pun sempit dada dan tidak menyukainya, serta ingin agar nikmat itu hilang dari saudaranya. Dari sini jelaslah bahwa hasad merupakan penyakit kejiwaan. Hasad merupakan penyakit kebanyakan orang. Oleh karena itu dahulu dikatakan: “Tiada jasad yang bebas dari sifat hasad. Akan tetapi orang yang jelek akan menampakkan hasadnya, sedangkan orang yang baik akan menyembunyikannya.”
Sebab-sebab terjadinya hasad banyak sekali. Di antaranya permusuhan, takabur (sombong), bangga diri, ambisi kepemimpinan, jeleknya jiwa serta kebakhilannya.
Hasad yang ditimbulkan oleh ambisi kepemimpinan dan kedudukan. Misalnya ada orang yang tak ingin tertandingi dalam bidang tertentu. Ia ingin dikatakan sebagai satu-satunya orang yang mumpuni di bidang tersebut. Jika mendengar di pojok dunia ada yang menyamainya, ia tidak senang. Ia justru mengharapkan kehancuran orang itu serta hilangnya nikmat itu darinya. Begitu pula halnya dengan orang yang terkenal karena ahli ibadah, keberanian, kekayaan, atau yang lainnya, tidak ingin tersaingi oleh orang lain. Hal itu karena semata-mata ingin menyendiri dalam kepemimpinan dan kedudukan.
Adakah Hasad yang positif ?
Ada hasad yang positif namun tidak lagi disebut Hasad lagi, dia dinamakan dengan Ghibthah, yaitu sifat seseorang yang positif dalam berfikir, menginginkan untuk mendapatkan sesuatu yang diperoleh orang lain, tanpa menginginkan hilangnya nikmat tersebut dari orang itu. Yang seperti ini tidak mengapa dan tidak dicela pelakunya. Jika irinya dalam hal ketaatan maka pelakunya terpuji. Jika irinya dalam perkara maksiat maka ini tercela, sedangkan bila dalam perkara-perkara yang mubah maka hukumnya juga mubah. (Lihat At-Tafsirul Qayyim, 1/167 dan Fathul Bari, 1/167)
Hasad asalnya hanyalah terjadi karena sesuatu yang diperoleh orang lain mendatangkan kepemimpinan, sebagaimana Nabi Adam diberikan kedudukan yang lebih mulia dibanding penguni lama di Jannah.
Oleh karena itu, orang yang berilmu dan beramal biasanya tidaklah dihasadi meskipun dia bernikmat-nikmat dengan makan, minum, dan lebih dari yang lain.
Orang yang berilmu akan memberi manfaat kepada manusia dengan santapan rohaninya, dan orang yang dikaruniai rizki berlebih akan memberikan manfaat kepada manusia dengan kebutuhan jasmani. Kedua orang tersebut jarang dihasadi.
“Janganlah kalian saling membenci, janganlah kalian saling hasad, dan janganlah kalian saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Muslim, Kitabul Birri wash Shilah, bab no. 7, hadits no. 2559, dari jalan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
“Ya Allah, ampunilah aku, sesungguhnya aku tidak pernah membelah dada untukmengetahui isi dihati”
referensi: asy-syariah