Aku: Sarjana Komputer jadi Pembudidaya Ikan

Membuka pintu bagi siapa saja yang ingin belajar dan berbagi ilmu budidaya lele
Kalau seorang sarjana perikanan kemudian jadi pengusaha sukses di bidang budidaya perikanan itu hal yang biasa atau wajar. Tapi ini ada yang tidak biasa, Sahban I Setioko yang merupakan seorang sarjana komputer terjun bahkan sudah cukup malang melintang di dunia budidaya perikanan.
Alumni Program Diploma 2 Informatika, Institut Pertanian Bogor angkatan 25 ini, kini merupakan salah satu pengusaha pembenihan lele yang terbesar di Bogor Jawa Barat. Benih lele produksi Sahban sekitar 1,2 sampai 1,6 juta ekor per bulan. Angka tersebut setara dengan 10 – 15 % dari total permintaan benih wilayah Sawangan, Parung, dan Bogor yang mencapai sekitar 11 juta ekor per bulan.
Perjalanan Usaha

Perjalanan usaha budidaya ikan yang dijalani Sahban cukup berliku. Pria kelahiran 20 November ini berkecimpung dalam dunia perikanan sejak tahun 2010, awal mulanya ia memulai usahanya dengan komoditas lele segmen pembesaran.

Namun ia merasakan bahwa margin dari usaha tersebut sedikit, maka beralih ke pembenihan bawal. Sahban mengaku, saat menjalankan usaha pembenihan bawal dihadapi kendala yakni proses maturasi (proses pemulihan induk setelah dipijah sampai isi telur kembali) induk yang lama. “Hal ini dikarenakan lokasi usaha tidak ada aliran air deras untuk memacu proses maturasi tersebut,” ungkap Sahban kepada Trobos Aqua barau-baru ini di lokasi usahanya Desa Pasir Gaok Bogor.
Seiring berjalannya waktu dengan melihat permintaan kebutuhan benih patin yang cukup tinggi maka ia pun beralih ke segmen pembenihan patin. Usaha pembenihan patin yang dimulainya pada tahun 2012 berkembang dengan baik, sehingga penambahan sarana baik hatchery (pembenihan) maupun kolam pun dilakukan.
“Pada tahun 2012 saya belajar pembenihan patin di Babakan, kecamatan Dramaga Kota Bogor. Mempelajari seluk-beluknya, hingga instalasi sarana, akhirnya Februari 2012 mulai membangun dan pada Maret 2012 mulai produksi 900 ribu – 1 juta ekor benih patin,” cerita Sahban.

Usaha patinnya terus berkembang sampai tahun 2016 permintaan akan komoditas patin mulai menurun, dan ini menjadi perhatian khusus baginya. “Pada tahun 2016 saya mengalami merosotnya permintaan akan benih patin yang cukup drastis, ternyata di Palembang dan Kalimantan terjadi kelebihan produksi ikan patin yang menyebabkan penurunan harga patin ukuran konsumsi, dan berdampak ke permintaan benih yang menurun,” ungkap Sahban.

Selang beberapa waktu bertemu dengan kerabat yang juga melakukan usaha budidaya kemudian menyarankan untuk beralih ke usaha pembenihan lele. Lalau pada 2017 itu menuruti saran tersebut dan mulai beralih ke pembenihan lele. “Setelah saya jalankan ternyata mudah juga mengurusnya,” kata Sahban.
Sentuhan Teknologi
Sejauh ini produksi benih lele yang dihasilkan Sahban belum mampu memenuhi permintaan pasar. Kekurangan benih lele ini diisi dari luar daerah seperti Indramayu dan Jawa Tengah. Sahban menilai, guna memenuhi tingginya permintaan benih lele, perlu ada sentuhan teknologi budidaya.

Seperti yang ia diterapkan dengan menggagas konsep budidaya Catfish Fabrication. Ia menjelaskan, dalam pembenihan tidak hanya menghasilkan produk dari Unit Pembenihan Rakyat (UPR), akan tetapi harus ada value (nilai) lebih daripada hanya sekadar memproduksi benih yang dihasilkan UPR.

Menurut Sahban, value akan dirasakan konsumen benih lele jika UPR mengaplikasikan teknologi seperti penerapan pemijahan buatan secara striping, pemberian pakan larva berkualitas berupa artemia, serta penambahan obat-obatan herbal berupa bawang putih serta kunyit pada benih lele. “Jadi bukan hanya UPR yang mendapatkan untung dengan menjual produknya, namun pembeli dari produk UPR juga akan mendapatkan hasil atau keuntungan dikarenakan benihnya berkualitas,” tutur Sahban yang juga bekerja sebagai konsultan lembaga perbankan.
Bina Lingkungan
Dalam menjalankan usaha pembenihannya, Sahban mengembangkan pola kemitraan dan pembenih sekitar. “Kami menyebut istilahnya adalah mitra kerja atau yang orang umum bilang adalah plasma, dimana bekerjasama dengan warga di sekitar lingkungan usaha, dengan cara bagi hasil atau bila ada warga yang mempunyai modal untuk membuat sarana dan prasarana kami akan berikan benih dan panen akan kami ambil,” beber Sahban.
Sahban menjelaskan, hal tersebut dilakukan dengan tujuan, pertama berusaha memenuhi kebutuhan benih lele yang angkanya sangat besar. Kedua, membina warga untuk meningkatkan penghasilannya agar taraf ekonomi di lingkungan meningkat dengan tujuan akhir adalah kesejahteraan bersama.
Ia menilai, peran dan dukungan lingkungan dalam membantu proses produksi sangatlah dirasakan manfaatnya. “Bermula dari mengenal proses budidaya hingga penen, dengan demikian warga sekitar meningkat pengetahuannya yang merupakan bekal ilmu untuk di dunia maupun di akhirat kelak,” tutur pria yang dikaruniai 3 orang anak laki-laki.

Saat ini ada sekitar 2 unit hatchery dan 60 kolam pendederan lele yang dikelola di UPR Pasir Gaok dengan melibatkan sumber daya manusia yang berasal dari warga sekitar. Ada yang tugasnya memberi makan secara terjadwal, kemudian ada yang khusus untuk proses sortir ukuran, ada juga yang tugasnya membantu proses pemanenan.
Sahbn juga memiliki satu lagi lokasi usaha pembenihan dan pendederan lele di Desa Jampang, Kabupaten Bogor sekitar 44 kolam pendederan beroperasi di sana. “Pengelolanya juga melibatkan warga sekitar,” terang pria yang kini mengemban amanah sebagai Divisi Pembenihan Lele Asosiasi Pengusaha Catfish Indonesia (APCI).
Sarana Belajar dan Penelitian
Ia pun membuka pintu bagi bagi warga ataupun para akademisi, serta calon wirausaha untuk menimba ilmu di UPR Pasir Gaok. “Dengan harapan setiap individu yang menimba ilmu disini akan mendapatkan penghasilan dengan berbudidaya ikan,” jelas Sahban yang berlatar belakang pendidikan teknologi informatika.
Sahban menceritakan, belum lama ini farm-nya kedatangan tamu dari negara tetangga yang merupakan pembudidaya sukses di Malaysia. Meraka datang untuk studi banding serta sharing informasi dan teknologi seputar budidaya lele dan patin. “Kami juga pernah berkesempatan menjadi tuan rumah kunjungan resmi dari delegasi pemerintahan Bangladesh pada tahun 2017 untuk mengetahui pembenihan patin yang ada di UPR Pasir Gaok,” kata Sahban.
Budidaya ikan, kata Sahban, merupakan suatu usaha yang melibatkan banyak individu di dalamnya, mulai dari mencari sumber pakan seperti cacing sutera, pemberian pakan ikan yang sudah dijadwalkan rutin mengingat jumlah kolam yang tidak sedikit, hingga proses sortir, serta panen.
Hal tersebut tidaklah mungkin jika hanya dilakukan satu sampai dua orang saja. “Maka dari itu kami mengedukasi lingkungan barangsiapa yang ingin berwirausaha, penelitian ataupun bermitra dengan UPR Pasir Gaok silahkan datang saja, karena kami juga masih banyak belajar dan ingin terus berkembang agar bermanfaat bagi lingkungan sekitar,” .

trobos/rizki

Sumber: http://www.trobos.com/detail-berita/2018/09/15/43/10719/sahban-i-setioko–sarjana-komputer-jadi-pembudidaya

Pewarnaan Gram

Dengan pewarnaan Gram, bakteri-bakteri dapat dibagi atas 2 golongan yaitu:

✓ Gram positif, berwarna violet (ungu) karena mengikat zat warna utama “kristal violet”.
✓ Gram negatif, berwarna pink (merah jambu) karena melepaskan zat warna utama dan menangkap zat warna penutup ”fuchsin”.

Prinsip atau pokok-pokok pewarnaan gram meliputi 4 tingkatan yaitu :
1. Pewarnaan dengan zat warna utama (kristal gentian violet yang warnanya violet).
2. Merekatkan (mengintensifkan) dengan suatu larutan mordant, yaitu larutan lugol (J-KJ).
3. Menambahkan zat decolorisasi (bahan peluntur) misalnya alkohol atau alkohol-asam.
4. Pemberian zat penutup (counter stain), misalnya : larutan fuchsin, safranin, dll.
Kesalahan Prosedur.

Kesalahan biasanya terdapat pada ”overstaining” dan ”overdecolozing”, yaitu terlalu lama memberikan zat-zat warna atau pancucian dengan alkohol. Akibatnya Gram-positif dapat menjadi Gram negatif. Teknik mewarnai hendaknya dikontrol juga dengan melakukan pemulasan terhadap bakteri yang telah diketahui Gramnya. Larutan-larutan zat warna yang digunakan senantiasa diperiksa, apakah sudah terdapat kristal-kristal atau kotoran-kotoran lainnya. Gunakanlah selalu larutan-larutan zat warna yang disaring dengan kertas saring.

Perlu kita ketahui bahwa perbedaan sifat antara kedua golongan bakteri tadi, tidaklah absolut tegas dan spesifik, melainkan tergantung juga pada beberapa faktor, antara lain:
a) Bakteri-bakteri Gram positif sering kali tidak dapat menyerap dan mengikat zat warna kristal violet, terutama apabila dibuat preparat dari bakteri-bakteri biakan murni yang telah tua (rough).
b) Ada bakteri-bakteri tertentu yang sangat peka terhadap cara-cara yang mengalami sedikit perubahan.
c) Selain itu ada juga bakteri-bakteri yang bersifat ”gram variable”, dll.
Gentian violet dapat diganti dengan crystalviolet atau methylviolet, jika gentian violet tidak ada.

Kualitas Benih Jadi Prioritas

Perlu percepatan penerapan teknologi pembenihan lele guna mendongkrak kualitas, bukan sekadar mengejar kuantitas.


Kondisi suplai dan permintaan yang tidak berimbang terjadi dalam budidaya lele antara segmen pembenihan dan pembesaran.  Seiring bertambahnya permintaan pasar akan komoditas ini maka sektor hulu dituntut untuk memproduksi benih lele secara besar-besaran.

Sahban I. Setioko merupakan salah satu pembudidaya lele segmen pembenihan di Bogor menyampaikan kondisi tersebut. “Daerah Sawangan, Parung, Bogor merupan salah satu sentra budidaya lele segmen pembesaran dalam skala besar, dan permintaan akan benih sangat tinggi. Terdapat beberapa pembudidaya berskala besar dan mereka kebutuhanya sekitar 11 juta ekor per bulan. Namun sampai saat ini kami hanya mampu mensuplai sekitar 10 – 15 % nya saja atau sekitar 1,2 – 1,6 jutaan ekor dari kebutuhan tersebut, selebihnya benih didatangkan dari luar daerah seperti Jawa Tengah dan Indramayu,” ungkap sahban saat ditemui Trobos Aqua di lokasi usahanya.


Penerapan Teknologi
Guna memenuhi tingginya permintaan benih lele, perlu ada sentuhan teknologi budidaya. Seperti yang diterapkan Sahban dengan konsep budidaya Catfish Fabrication. Ia menjelaskan, konsep ini harus diterapkan oleh Unit Pembenihan Rakyat (UPR) di berbagai daerah baik mereka yang menjalankan skala besar maupun kecil.

Catfish Fabrication maksudnya, kata Sahban, adalah dalam pembenihan tidak hanya menghasilkan produk dari UPR, akan tetapi harus ada value (nilai) lebih daripada hanya sekedar memproduksi benih yang dihasilkan UPR. Value akan dirasakan pembeli produk (benih lele) jika UPR mengaplikasikan teknologi seperti penerapan pemijahan buatan secara striping, pemberian pakan larva berkualitas berupa artemia, serta penambahan obat-obatan herbal berupa bawang putih serta kunyit pada benih lele. “Jadi bukan hanya UPR yang mendapatkan untung dengan menjual produknya, namun pembeli dari produk UPR juga akan mendapatkan hasil atau keuntungan dikarenakan benihnya berkualitas,” tutur Sahban.

Ini merupakan dampak positif dalam penerapan teknologi, Jelas Sahban. Diharapkan UPR menerapkan pembenihan dengan intensif agar hasil maksimal dan terukur. Sayangnya, model budidaya ini belum merata di UPR di berbagai daerah.

Senada dengan Sahban, Azzam Bachur Zaidy selaku Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Catfish Indonesia (APCI) juga angkat bicara mengenai perlunya penerapan sistem intensif dalam pembenihan lele. Lanjutnya, bicara mengenai benih lele, masih banyak UPR yang sifatnya masih tradisional.

Azzam menggambarkan, saat ini posisi pembenihan dan pembesaran sudah berubah, segmen pembesaran sudah mulai bergerak dan banyak yang mengadopsi budidaya sistem intensif dan fokus. Segmen pembenihan pergerakkannya masih cenderung lambat dalam menerapkan teknologi dan inovasi budidaya lele. Diharapkan UPR baik beskala kecil sampai besar menerapkan teknologi dan inovasi agar pencapaian hasil maksimal.

“Di Bogor ada yang menerapkan juga pembenihan lele secara intensif dan dilihat dari hasil prosuksinya juga cukup besar, sekitar produksi 500 – 700 ribu ekor benih per siklus produksinya, dan lokasinya indoor semua. Ini merupakan aplikasi dari penerapan teknologi demi mendukung pencapaian benih baik secara kualitas dan kuantitas,” ungkap Azzam.

Benih Berkualitas
Lalu bagaimana menghasilkan benih berkualitas? Tanya Sahban. Lebih rinci ia jelaskan, pembenihan dimulai dari indukan lele yang unggul, dan tidak sampai di situ saja, manajemen induk penting diterapkan. Di UPR Pasir Gaok – Bogor pihaknya melakukan tagging (penanaman microchip pada ikan), jadi pada saat pemijahan akan didata kode induk sehingga benih yang dihasilkan akan mempunyai rekam data pemijahannya.

 

Selengkapnya baca di majalah TROBOS Aqua Edisi-74/15 Juli – 14 Agustus 2018

Sumber: http://www.trobos.com/detail-berita/2018/07/15/12/10488/kualitas-benih-jadi-prioritas

Kunjungan Pemerintah Bangladesh Ke UPR PASIR GAOK FISH FARM Bogor

Bogor, merupakan salah satu lokasi dimana Usaha Pembenihan Ikan Patin berkembang. Salah satu kelompok yang cukup maju dalam mengembangkan pembenihan ikan Patin adalah UPR Pasir Gaok Fish Farm yang berlokasi di Kecamatan Rancabungur Kabupaten Bogor. Kelompok ini melaksanakan usaha mulai dari pengelolaan induk, pemijahan, penetasan telur, pemeliharaan larva sampai berukuran 0.75 inci (2 cm) sebagai segmen pendederan I. Kemudian dilanjutkan tahap pendederan II dikolam tembok dan kolam bundar untuk menghasilkan bibit patin berukuran 1 – 3 inci.

Dengan dukungan empat buah indoor hatchery yang masing-masing berisi 40, 45, 35 dan 35 unit aquarium ukuran 200x100x50 cm, kapasitas produksinya bisa mencapai 4,5 juta ekor bibit ukuran 0.75 inci (2 cm) perbulan.

Dari informasi tersebut, Pemerintah Republik Bangladesh berdasarkan rekomendasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia melalui Direktorat Perbenihan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) dan Rekomendasi Penyuluhan Perikanan di Kabupaten Bogor, Kelompok tersebut menjadi salah satu destinasi Pemrintah Republik Bangladesh dalam melakukan Kunjungan ke kelompok tersebut.

Kunjungan Delegasi Bangladesh tersebut dalam rangka studi banding usaha pembenihan Ikan Patin di Indonesia yang nantinya akan menjadi bahan referensi dalam pengembangan Ikan Patin di Negara tersebut. Delegasi Negara tersebut meliputi; Mr. Narayon Chandra Chanda, MP Menteri Perikanan dan Peternakan, Mr. Mostafa Peneliti, serta Duta Besar Berkuasa Penuh Negara Bangladesh Mr. H.E. Major General Azmal Kabir, OSP, psc. Dari Indonesia sendiri turut Hadir, Bapak Ir. Coco Kokarkin Soetrisno, M.Sc Direktur Perbenihan DJPB, Kepala Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Bogor, Camat Rancabungur, Kepala Desa Pasir Gaok, serta Penyuluh Perikanan se-Kabupaten Bogor.

Acara tersebut dimulai dengan pemaparan profil Kelompok Pasir Gaok Fish Farm oleh Ketuanya Bapak Saban, kemudian dilanjutkan diskusi terkait pengelolaan usaha Patin, dan pengembangan Ikan patin di Indonesia. Dalam diskusi tersebut, Ketua Kelompok menyampaikan bahwa UPR Pasir Gaok merupakan unit pembenihan yang bersertifikan CPIB (Cara Pembenihan Ikan yang Baik) dengan predikat excellent (Sangat Baik) yang ditetapkan pada tanggal 28 Oktober 2015. Kelompok yang berdiri sejak tahun 2012 tersebut juga sudah memiliki Stock Induk bersertifikast yang awalnya diberikan oleh Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan. Delegasi tersebut menyampaikan bahwa dengan studi banding tersebut akan menjadi bahan referensi dan akan berkomunikasi secara intens dengan pemerintah Indonesia dalam rangka pengembangan Ikan Patin di Negaranya (red: Bangladesh)

Dalam acara tersebut, delegasi dari Bangladesh juga berkeliling meninjau Lokasi Kolam Induk, Penetasan Telur, Pemeliharaan larva dan Sistem Manajemen pakan yang dilakukan oleh Kelompok tersebut. Selain ke UPR Pasir Gaok Fish Farm, Delegasi tersebut juga dijadulkan akan melakukan kunjungan ke Arwana Farm di Cibubur, dan akan bertolak ke Bali esok harinya untuk meninjau kegiatan usaha Budidaya Rumput Laut.

 

KONTRIBUTOR:
Nia Karuniawati S., S.Pi.
(Penyuluh Perikanan Kab. Bogor)

Siklus Hidup Oodinium (Piscinoodinium)

Siklus hidup parasit ini dapat dibagi menjadi empat tahap, dan berlangsung selama 10-14 hari pada suhu 23-25 °C, siklus akan lebih lambat dibawah suhu 23 ℃.

Siklus Hidup Oodinium

Sumber gambar bettasource.com

Tahap pertama adalah tahap mendapatkan makanan. Parasit dinoflagellata menempel pada ikan, kemudian menjadi kista, yang menembus kulit, darah serta jaringan lunak insang. Kista terus menghancurkan sel dan memakan nutrisi di dalamnya. Tumbuh di bawah kulit sampai meninggalkan inangnya. Menginfeksi insang adalah salah satu hal yang membuat Velvet berbeda dari penyakit serupa yang disebut Ich (white spot). Tahap kista ini sangat tahan terhadap kimia. Tidak jarang membutuhkan beberapa aplikasi pengobatan untuk sepenuhnya menghilangkan parasit.

Tahap kedua adalah ketika parasit matang meninggalkan inang masuk ke dalam air, lalu jatuh ke dasar kolam.

Tahap ketiga dimulai ketika memasuki proses reproduksi. Parasit membentuk kista, yang memungkinkannya untuk bertahan hidup. Tahapan ini juga sangat tahan terhadap perawatan kimia. Kista benar-benar membagi dan membentuk antara 34 dan 64 sel baru di mana pada membran menyemburkan sel-sel ke dan memasuki tahap keempat.

Selama tahap keempat ini organisme yang berenang bebas disebut dinospore. Sebuah dinospore memiliki dua flagela, salah satunya ditutupi oleh lipatan tubuh dan memiliki mata kemerahan. Silia dan flagela mendorong sebuah dinospora melalui air. Dinospora berenang mencari inang dan akan mencoba untuk melekat pada inang dalam waktu 70 jam – ini adalah tahap infeksi dan dapat diobati. Mereka harus menemukan inang dalam 24 jam, atau mati. Sekali hinggap pada inang, dinospora masuk ke lapisan epitel kulit dan sirip dan siklus kehidupan dimulai dari awal lagi.